Thursday, April 1, 2010

Ciputat – Lebak Bulus – Jatinangor, 5 subuh

Agak berat menjalani ini pada awalnya, eh lama-lama malah dibawa nikmat…

Berdomisili di dua daerah berbeda emang agak berat. Menimbah ilmu di bumi Parahyangan (bergeser dikit di Jatinangor pastinya), tapi tetap berkreasi di ibu kota ( juga bergeser dikit keperbatasan Jakarta-Tangerang: Ciputat).

Hampir empat tahun hidup nomaden, (untungnya) antar dua provinsi berbeda, namun belum menemukan waktu yang benar-benar maknyus untuk melakukan perjalanan rutin, khususnya perjalanan Jakarta – Jatinangor. Siang bolong, kisaran jam12 – 3, sering dicoba, hasilnya: emosian karena macet plus gerah. Jam 5-7 malam, rasanya hampir menjadi pilihan, bebas panas namun tetap saja macet di sekitar Ciputat-Lebak Bulus plus perjalanan akan sangat membosankan di dalam Primajasa (jasa angkutan kesayangan penduduk pendatang di Jatinangor) karena gelap membuat tiada ritual membaca majalah, atau textbook saat kepepet ujian satu jam berikutnya, hanya iPod usang 1gb dengan playlist yang tak kalah usang pula.

Seiring perkembangan waktu yang membuat saya makin dewasa, setidaknya, akhirnya terpikirkan oleh saya untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Sebenarnya mencoba karena kepepet juga. Pada waktu itu, hari minggu yang selalu menjadi hari favorit untuk kembali ke habitat, ke jatinangor dari ciputat, saya tidak sempat kembali ke habitat, karena beberapa hal yang sekiranya sangat penting harus diselesaikan. Padahal keesokan harinya, mulai kuliah jam 8 pagi. Akhirnya keputusan yang sulitpun harus diambil: pulang ke Jatinangor di pagi buta. Tekat kuat bangun jam 3 pagi dan sudah harus duduk manis dalam bus jam 5 pagi.

Awalnya merengek, lama kelamaan enjoy juga. Bangun, berpakaian baju tidur, tak perlu malu, selain ditutupi jaket, saingan berbaju keren juga mana ada yang berkeliaran jam 4-5 pagi. Tak perlu sikat gigi, tak perlu mandi, selain percuma karena muka akan acak adut juga sembari tidur pulas di bus, membayar waktu tidur yang dibajak. Hanya bermodalkan cipratan air dan sabun cuci muka saja. Jam 4 subuh sudah nongkrong di depan kompleks, berdiri manis menunggu angkot yang pada jam itu enggan lewat. Angkot akan membawa saya menuju pasar Ciputat. Lokasi transit angkot ke lebak bulus, yang ternyata sudah mulai ramai. Melihat kesibukan di pasar, terlintas dipikiran: disinilah denyut ekonomi dimulai. Bukan di supermarket, perkantoran, ataupun bursa-efek. Bukan pula oleh bankir, akuntan, atau broker, melainkan oleh pedagang kelas menengah ke bawah. Penjual melakukan transaksi dengan pembeli, yang kebanyakan adalah para ibu. Para ibu keluar rumah subuh sewaktu suami-anak masih terlelap tidur, pergi ke pasar, membeli kebutuhan logistik yang nantinya disiapkan untuk orang rumah.

Wow, secara tidak langsung semua ‘penglihatan’ itu membuat saya semangat untuk menjalani hari. Ndak mau kalah dengan mereka karena saya juga perlu semangat yang begituan karena umur saya yang jauh lebih mudah (memang sudah seharusnya). Ndak mau membuang waktu. Harus semangat sesampai di Jatinangor nanti.